Melihat dan merasakan
sendiri pendidikan dewasa ini sangat amat melenceng dari substansi
adanya pendidikan, ketika pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah kebutuhan
asasi manusia untuk menjadi manusia sehingga pada akhirnya bisa berguna bagi
manusia dan alam namun telah ternodai dengan pemikiran-pemikiran pragmatis yang
menjadikan pendidikan hanya terpaku pada nilai kuantitas bukan kualitas.
Masyarakat dan kita sendiri sebagai subjek dan objek pendidikan hanya terpaku
pada hal-hal yang pragmatis, ketika kita hidup sebagai “akademisi” hanya
memiliki main set masuk kuliah, mengerjakan tugas, ada kuis dijawab, ikut UTS,
ikut UAS dan pada akhirnya mendapat nilai A. kemudian ketika dalam aktifitas
sehari-hari dikelas para “akademisi” hanya terjebak dalam buaian retorika semu
dan gagasan yang menghiasi ruang kelas, dan ketika masa untuk beretorika semu dan
gagasan indah dalam ruang kelas itu sudah habis (jam kuliah selesai)
maka seakan-akan burung yang keluar dari sangkar menjadi seorang yang bebas dan
melepaskan semua hal yang telah dikerjakan dalam beretorika semu dan gagasan
indah di kelas. Realita yang terjadi tersebut dapat disebut sebagai pragmatism
pendidikan.
Padahal, pendidikan yang
pada hakikatnya adalah sebagai kebutuhan asasi manusia untuk memanusiakan
manusia dan untuk berguna bagi manusia dan alam. Lebih jelas lagi menurut
Imanuel Khan menjelaskan pendidikan merupakan suatu proses humanisasi yang
artinya dengan pendidikan manusia akan lebih bermartabat, berkarakter,
terampil, yang memiliki tanggung jawab terhadap sistem sosial sehingga akan
lebih baik, aman dan nyaman. Ditambah lagi bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar
Dewantoro menggambarkan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi
pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan
menghidupkan anak yangselaras dengan alam dan masyarakatnya. Intisari dari
kedua ahli tersebut adalah pendidikan adalah proses humanisasi agar lebih
berkualitas sehingga bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama.
Merujuk pada hakikat
pendidikan seperti yang telah dijelaskan Imanuel Khan dan Ki Hajar Dewantoro,
maka seharusnya pada tataran taktis atau pada tataran lembaga atau intitusi
pendidikan bisa menjadikan pola pendidikan yang ada khususnya pada kampus
sebagai tempat dimana ide, gagasan yang substansial itu ditampilkan, bukan
hanya menjadi tempat lahirnya para penghafal dan pencatat teori materi yang
diujikan oleh dosen. Ketika hal ini bisa diterapkan maka dipastikan kampus akan
menjadi tempat para akademisi untuk saling berwacana, beradu argument, dan
beradu pemikiran untuk menemukan solusi memperbaiki keadaan social. Refleksi
kebelakang tentang bagaimana Ki Hajar Dewantoro mendirikan
sebuah Perguruan Tamansiswa pada tahun 1922, dimana pendidikan Tamansiswa
berciri khas Pancadarma, yaitu 1) Kodrat Alam; 2) Kemerdekaan; 3) Kebudayaan;
4) Kebangsaan; 5) Kemanusian, yang berdasarkan Pancasila. Sehingga
dari sini dapat dijelaskan makna yang tersirat dari Ki Hajar Dewantoro, bahwa
seorang yang berpendidikan maka dia akan menjadi manusia yang berkualitas dan
bermanfaat bagi sesama.
Ketika pendidikan
menjadi pragmatis, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa banyak dari kita
malah lebih menikmati untuk menjalani hidup dan berkecimpung pada tataran
akademis pragmatis, padahal kalau melihat Tri Dharma perguruan tinggi menyatkan
bahwa mahasiswa atau dosen itu harus pertama. pendidikan dan
pengajaran, kedua. penelitian dan pengembangan, ketiga.pengabdian
pada masyarakat. Kalau pada saat ini banyak diantara kita hanya focus pada
akademis yang pragmatis maka secara langsung kita telah melanggar tri dharma
yang kedua dan ketiga, yaitu untuk menjadi mahasiswa yang meneliti dan
mengembangkan serta mengabdi pada masyarakat.
Memang berat untuk
menjalankan ketiga tri dharma tersebut, namun setidaknya setetes ilmu yang
telah kita terima dan kita fahami bisa menjadi alat kita mengabdi pada
masyarakat. Entah itu dengan ikut turun aksi membela rakyat, ikut menjadi
voloenter LSM, menjadi anggota LSM, membuat LSM, dan lain sebaginya. Namun
ketika memang sudah mentok tidak bisa menjadi mahasiswa yang mengabdi pada
masyarakat, maka jadilah orang yang mensuport kawan-kawan yang berusaha selain
akademis juga mengabdi pada masyarakat. Pragmatism pendidikan adalah sumber
banyak bencana yang melanda bangsa kita, mari mulai dari diri untuk sadar dan
bisa menjadi selayaknya dan berusaha yang menjalankan tri dharma perguruan
tinggi, agar kedepannya adalah negara yang kita cintai ini, bangsa yang kita
cintai ini, bisa menjadi bangsa yang besar seperti yang dicita-citakan para
pendiri negara ini, negara Indonesia.
Pendidikan
menjadikan manusia lebih bisa bermanfaat bagi sesama.
(Faris I.I: 2013)
Prgamatisme
pendidikan adalah awal para akademisi menjadi musuh bangsa
(Faris I.I: 2013)
*Penulis adalah Faris
Imamuddin Ilmi, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang
Silahkan kirim kritik
dan saran ke FB : Faris Muddin, TW: @FarisMuddin, Email: Faris13_xa@yahoo.com.
Read more at http://campurbalan.blogspot.com/2013/05/hari-ini-pragmatisme-pendidikan-besok.html#VeE9gtXcuAwmdqwh.99
0 komentar:
Posting Komentar