Jumat, 10 Oktober 2014

ASPIRASI YANG TERGADAIKAN DAN TRANSAKSI POLITIK

Trikotomi Santri abangan dan priayi dalam masyarakat Jawa yang diungkapkan Clifford Geertz dalam penelitiannya tahun 1953-1954 di Mojokuto (nama tempat penelitian disamarkan) banyak dipahami sebagai konsep yang memetakan masyarakat Jawa dari aspek budaya, agama, dan kehidupan sosial-ekonomi. Meski Indonesia bukanlah Jawa dan Jawa hanyalah bagian dari Indonesia, tanpa maksud untuk mendiskreditkan daerah-daerah lain di luar Jawa, diakui atau tidak Jawa merupakan tempat dimana menyelenggaraan negara digelar. Sehingga wajar kalau kultur setempat mempengaruhi peta perpolitikan di Indonesia. Belum lagi elite-elite politik di negeri ini mayoritas berasal dari Jawa, atau juga menempuh pendidikan di Jawa.
Trikotomi yang diungkapkan oleh Geertz bila dicermati merupakan peta politik di Indonesia secara general dan bertahan dari masa ke masa. Berpolitik di negara dengan sistem demokrasi seperti di Indonesia memerlukan peta masyarakat semacam ini untuk berbagai kepentingan. Dari kepentingan yang sifatnya ideal, sampai kepentingan yang sifatnya pragmatis. Kepentingan ideal dalam artian trikotomi masyarakat tersebut digunakan dalam rangka membangun masyarakat secara tepat, sesuai kebiasaan, adat, dan karakteristik kelompok sosial tersebut. Sedangkan kepentingan pragmatis dalam artian kepentingan politik praktis menjelang PEMILU yang khas akan kepentingan suksesi, propaganda, dan kampanye politik, demi berlenggang meraih kekuasaan.
Sedikit merenungkan trikotomi yang dicetuskan Geertz, Abangan dikategorikan sebagai kaum kelas bawah seperti petani dan kaum buruh, Santri adalah kaum agamis, dan Priayi adalah kaum birokrat dan ningrat. Bila kita mengamini klasifikasi Geertz sebagai sebuah penelitian yang ilmiah, maka klasisikasi tersebut berbanding lurus dengan peta perpolitikan di Indonesia dari masa ke masa. Pada masa Orde Lama (era kepemimpinan Soekarno 1945-1966) di Indonesia terdapat 3 partai besar yaitu PKI, Masyumi, dan PNI. Dimana PKI dengan Ideologi Komunis banyak menarik perhatian masyarakat kelas bawah karena gerakannya yang militan dan membawa aspirasi kaum buruh dan masyarakat kelas sosial rendah. Masyumi yang merupakan partai berideologi Islam, sehingga banyak menarik perhatian kalangan Islam. Dan PNI kebanyakan merupakan kalangan Priayi yang merupakan keturunan ningrat dan terdidik dengan pendidikan modern ala Barat.
Pada perkembangan selanjutnya pada masa Orde Baru (era kepemimpinan Soeharto 1966-1998) trikotomi yang ada pada masa orde lama tersebut terus berlangsung. Bahkan Soeharto pada masa pemerintahannya membatasi partai politik dalam 3 partai, yaitu PDI, PPP, dan Golkar. Tiga partai ini masih dalam kerangka pengelompokan yang sama, kalangan kelas bawah di PDI. Kalangan Islam di PPP, dan Golkar terdiri dari kalangan terpelajar termasuk kalangan PNS non ABRI.
Pasca Reformasi 1998 yang meruntuhkan kekuasaan Presiden Soeharto issue-issue tentang kebebasan politik mulai popular di masyarakat. sistem Demokrasi multipartai di Orde Reformasi membuat masyarakat Indonesia terpilah dalam banyak kelompok dengan kepentingannya masing-masing. Issue-issue ideologis pada masa itu  tidak menjadi hal yang sentral. Issue persamaan hak sebagai warga Negara, termasuk  hak asasi manusia, penegakan hukum,dan perbaikan  ekonomi, menjadi lebih sentral.
Yang menarik adalah 16 tahun pasca reformasi 1998, peta yang pernah pudar itu muncul kembali (tentunya dalam wajah yang berbeda). Tapi dalam peta politik yang sama. partai peserta pemilu 2014 bisa dipilah dalam tiga golongan yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Golongan Santri dalam partai-partai Islam seperti PKB, PKS, PAN, PPP, PBB, golonan Priayi dalam partai-partai nasionalis seperti NasDem, Golkar, Demokrat, Hanura, & PKP, dan Golongan Abangan dalam partai-partai berideologi kerakyatan seperti, PDIP & Gerindra.

Transaksi & Gado-Gado Politik
Seperti pada umumnya yang terjadi dalam dinamika politik, landasan ideologis seringkali dikalahkan oleh kepentingan praktis. Sehingga tidak heran jika fraksi-fraksi dalam DPR yang membentuk oposisi dan koalisi merupakan gado-gado dari berbagaimacam golongan. Gado-gado politik yang terbentuk atas dasar kepentingan pragmatis inilah celah masuknya politik trasaksional yang berdampak sangat buruk terhadap potret politik di Indonesia saat ini. Tawar-menawar “kursi” menteri di kabinet dalam tubuh lembaga eksekutif dan tukar menukar kepentingan dalam pembagian “kursi basah” di komisi-komisi dalam tubuh legislatif, kesemuanya sudah menjadi berita yang menjemukan di layar kaca.
Gado-gado politik ini pula yang akan terjadi pada pemilu 2014. Partai-partai politik itu akan menjadi kutu loncat, dimana partai yang memiliki perolehan suara terbesar di situ pula arah mata partai lain melirik, sebelum melakukan loncatan. Kasus seperti ini sering terjadi, seperti halnya PKS, PKB dan partai Islam lain yang bergabung dalam partai koalisi bersama Partai Demokrat untuk suksesi presiden tahun 2009.
Kembali pada trikotomi yang dilakukan Clifford Geertz, kelompok sosial dalam masyarakat dimanfaatkan dengan baik oleh para elite politisi di Negara ini. Namun sayangnya hanya dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan semata. Politik transaksional yang menjadi rutinitas politik di setiap momentum PEMILU dilaksanakan demi isi kantong dan keuntungan kalangan elite saja (elite dalam golonganya masing-masing). Partai politik sejatinya merupakan representasi dari kelompok sosial masyarakat yang membawa kepentingan kelompoknya. Kepentingan kelompok semacam itu sebenarnya positif untuk pembangunan, karena dengan demikian kelompok sosial tersebut memiliki keterwakilan dalam lembaga legislatif. Namun naasnya, politik transaksional membalikan keadaan ideal tersebut, alih-alih membawa aspirasi kelompok sosial dalam masyarakat yang mereka wakili, partai politik dan elit partai politik justru menggunakan amanat suara rakyat untuk kepentingan pribadi dan sebagian kecil elite politik saja.

Diperlukan tokoh Alternatif
Kaitanya dengan serangkaian tulisan ini akan sangat hambar jika saya tidak mengajukan sebuah titik balik sebagai jalan keluar dari kerumitan perpolitikan di negara ini yang saat ini mengalami krisis kepemimpinan di tataran atas (elite politik) dan krisis kepercayaan ditataran bawah (masyarakat). Dari gambaran tersebut, ada beberapa kriteria pememimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini; pertama, dibutuhkan tokoh yang mampu menaklukkan elite-elitetiap golongan (paling tidak dua diantara tiga golongan trikotomi). Mampu menaklukkan disini maksudnya berani menolak tawaran-tawaran politik dari para elite politik pada masing-masing golongan. Untuk melakukan hal tersebut pemimpin tersebut harus memiliki potensi power, sehingga politik transaksional bisa diminimalisir.
Kedua adalah tokoh netral yang bisa diterima berbagai kalangan. Kriteria ini yang nampaknya sulit ditemui pada calon-calon pemimpin di Indonesia saat ini. Soekarno presiden RI pertama, merupakan tokoh yang bisa diterima oleh barbagai kalangan, sehingga beliau mampu menyatukan Indonesia dalam kerangka ideologi NASAKOM (Nasionalis, Agamais, dan Komunis). Soekarno memiliki gelar Syieh Syabidin Abdulrahman dari kalangan Santri, gelar Bapak Revolusi dari kalangan Abangan, dan gelar 26 gelar Doktor HC yang diakui oleh kalangan terdidik (Priayi)Kriteria seperti ini sangat sulit ditemui di negara ini, bahkan dari kalangan politisi trah Soekarno sekalipun. Meski tidak bisa mendapatkan pemimpin yang memenuhi dua kriteria tersebut paling tidak salah satu dari dua kriteria tersebut, semoga.


Penulis Adalah Mahasiswa Program Pascasarjana 
Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS)

0 komentar:

Posting Komentar